Mengapa Bahasa Inggris Memerlukan “is, am, are” dan Mengapa Bahasa Indonesia Tidak Selalu Memerlukan “adalah”?

19 Mei

Tulisan ringan di bawah ini merupakan tulisan perdana saya di Kompasiana (http://bahasa.kompasiana.com/2012/03/04/mengapa-bahasa-inggris-memerlukan-is-am-are-dan-mengapa-bahasa-indonesia-tidak-selalu-memerlukan-adalah/). Semoga bermanfaat 😉

———————————————————————————————-

Kita pasti sangat fasih dengan salah satu “aturan” dalam bahasa Inggris yang mengenal to be (is, am, are). To be am digunakan sebagai “pasangan” dari I, is berpasangan denganshe, he, it dan are berpasangan dengan you, we dan they. Misalnya,

She is smart.

They are beautiful.

 

Hasil berpasangan itu merupakan bentuk persesuaian (agreement) subjek – verba. Ah, saya tidak akan membicarakan panjang lebar tentang aturan tatabahasa. Saya hanya ingin memperkenalkan bahwa is, am, dan are disebut sebagai kopula (istilah linguistik, bagi yang belum tahu saja).

 

Saya bukan pakar kopula, tapi sedang tertarik mengamati perilakunya yang menarik (setidaknya menurut saya). Karena tertarik, saya menelitinya untuk tesis saya. Saya menganalisis kuasi-kopula dalam bahasa Inggris. Intinya sih sebenarnya bukan kopula-nya yang saya analisis, tapi tetap saja konsep “apa itu kopula?” dan “bagaimana kopula bekerja dalam konstruksi lingual?” harus kuat. Benar saja. Sewaktu ujian, salah satu dosen penguji menanyakan: “Mengapa bahasa Inggris membutuhkan kopula?”. Poin yang ini saya lancar menjawabnya. Selanjutnya beliau bertanya “Lalu apakah bahasa Indonesia juga membutuhkan kopula seperti halnya dalam bahasa Inggris?”. Nah, pertanyaan terakhir ini yang membuat saya tertegun cukup lama. Ujung-ujungnya jadi PR untuk saya. (Padahal sewaktu di luar ruangan ujian tahu jawabannya, tapi ketika ujian jadi blank, hehe).

 

Well, karena pertanyaan dosen saya sebenarnya hal mendasar namun banyak juga yang belum tahu, saya coba share di sini sebagai tambahan pengetahuan saja, ya (buat yang tertarik).

Bagi Anda pembelajar bahasa Inggris memang tidak asing dengan kopula be tersebut dan mungkin sudah hafal di luar kepala, tapi apakah kita sudah tahu mengapa kopula hadir dalam konstruksi klausa bahasa Inggris? Saya juga baru tahu. Itupun “terpaksa” karena harus baca-baca untuk referensi tesis. Saya mendapati beberapa pendapat yang saling melengkapi. Mari pasang wajah serius dulu 😀

 

Meskipun bahasa Inggris sudah kehilangan infleksi untuk pemarkah kasus (itu tuh akhiran kata di bahasa Latin), bahasa Inggris  masih menyisakan infleksi kala. Menurut Poedjosoedarmo (pembimbing tesis saya nih–intermezo), infleksi kala masih bertahan sebagai “alat” pembeda verba dengan nomina, misalnya. Karena urutan kata dalam bahasa Inggris modern itu ketat, verba dibedakan melalui adanya infleksi yang melekat (meskipun pada dasarnya ketika dalam klausa.kalimat sudah jelas verba terletak setelah subjek = SVO). Contohnya saja:

I listened to the music.

 

Infleksi kala –ed yang melekat pada verba listen seolah menegaskan bahwa listen adalah verba meskipun jika dilihat dari urutan kata sudah jelas (listen berada setelah subjek “I” ).

Payne dalam bukunya menyebutkan bahwa infleksi kala ini kemudian menjadi syntactic head atau unsur inti klausa/kalimat bahasa Inggris. Pandangan semacam ini merupakan pengaruh dari pemikiran generativist (orang yang menekuni generative/transformational grammar-nya Chomsky). Pendapat semacam itu rasanya pas untuk bahasa Inggris karena bahasa Inggris mempunyai konstruksi klausa yang peka terhadap kala. Ada kala sekarang (present), lampau (past) dan futur (future). Meskipun kalimatnya seperti ini:

I eat an apple.

 

verba eat dalam contoh di atas masih memberikan informasi kala, yakni kala sekarag (present). Generativist mencoba memberikan penjelasan yang paling logis: infleksi kala sesungguhnya ada dalam verba eat tetapi realisasinya (perwujudannya) yang tidak tampak –> covert –> dibatasi di sini saja agar tidak melebar 🙂

 

Oke, penjelasan saya mulai membingungkan ya. Pasti ada yang bertanya-tanya “Lalu apa kaitannya kala atau tense ini dengan kehadiran kopula dalam bahasa Inggris?”

Begini, mengingat infleksi kala bersifat wajib, maka ia harus selalu hadir dalam klausa atau kalimat bahasa Inggris. Sayangnya, kala tidak mandiri. Ia harus melekat pada satuan lingual lain. Dan yang dapat dilekati oleh infleksi kala adalah verba (ada yang berpendapat hal ini terjadi karena kala atau waktu identik dengan tindakan/aktivitas yang dinamis dan tidak stabil waktunya, sementara itu adjektiva dan nomina cenderung lebih stabil waktunya – coba baca Payne, kalau saya tidak salah). Padahal, pengisi formal predikat (atribut dari subjek) bukan hanya verba, bisa juga adjekitva, contohnya:

She smart

S                    P

 

Pada kondisi yang demikian (tidak ada verba, melainkan adjektiva smart), infleksi kala tidak bisa melekat, sedangkan ia diwajibkan hadir. Lalu apa yang harus dilakukannya? Infleksi kala tidak habis akal. Ia mendatangkan bala bantuan berupa verba fungsional to be. Ya, to be adalah verba, tetapi jangan disamakan statusnya seperti verbaeat/drink/read. To be adalah verba fungsional, tidak punya makna kontentif sepertieat/drink/read (yang bisa digambarkan maknanya melalui aktivitas di dunia nyata). Terlepas dari “kekurangan” to be sebagai verba, setidaknya to be mampu menyelamatkan infleksi dan selanjutnya infleksi bisa melekat dengan nyaman dan lahir lah kalimat berikut (persoalan ini dibahasa oleh Baker, 2004).

She        is             smart

She        was        smart

S                       P

 

Kendati demikian, dalam pemakaiannya, kopula juga seringkali dilesapkan. Coba saja Anda lihat dialog-dialog film Hollywood atau lirik-lirik lagu, khususnya lagu-lagu beraliran hip hop. Jadi, seseorang dapat menyatakan “She (0) smart” dan tidak ditegur oleh temannya karena tidak mematuhi aturan grammar.

Well, bagi saya pribadi, pelesapan kopula semacam ini adalah fenomena pemakaian bahasa yang tidak bisa serta merta dihakimi “salah” atau “benar”. Apalagi jika Anda tahu bahwa pelesapan terjadi bukan tanpa sebab. Black English, yaitu bahasa Inggris yang dituturkan oleh orang Amerika keturunan Afrika, mempunyai tatabahasa yang gemar melesapkan kopula (sebenarnya bukan hanya kopula, baca Carmen Fought “Language and Ethnicity”). Dulu sih black people memang mendapat diskriminasi, tapi sekarang sudah beda. Black people sudah merajai perfilman atau menjadi penyanyi ternama. Di samping itu, populasi black people juga cukup banyak di Amerika dewasa ini. Untuk menunjukkan identitas mereka, pemakaian bahasa Inggris berdasarkan tatabahasa bahasa asal mereka (yang kerap melesapkan kopula) tidak terelakkan lagi. Dicontohkan oleh Crystal (2010) bahwa keturunan Afrika (tepatnya Karibia) di Amerika dapat mengatakan kalimat seperti berikut.

They fine (black people) –> yang mempunyai bentuk standard They are fine

 

Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Apakah bahasa Indonesia selalu membutuhkan kopula? Bahasa Inggris membutuhkan kopula jika pengisi predikatnya bukan verba. Ternyata bahasa Indonesia juga membutuhkan kopula ketika pengisi predikatnya adalah nomina. Coba kita amati contoh berikut.

Icuk adalah seorang dosen.

 

Kalimat di atas gramatikal, berterima dan lazim dipakai/didengar. Ketika “adalah” dilesapkan

Icuk seorang dosen.

 

Kalimat di atas masih gramatikal, berterima dan juga lazim kita dengar. Kita sering menggantikan keberadaan kopula dengan jeda tanpa kita sadari.

Icuk –jeda—seorang dosen.

 

Nah, berarti kopula yang hadir ketika predikat bukan berupa verba cenderung bersifat opsional. Kalau pun dipakai, biasanya konstruksi lebih panjang. Contoh:

Icuk adalah seorang dosen Linguistik yang hebat dan bersahaja.

 

 

Kendati kopula “adalah” cocok dengan predikat nomina, tidak demikian ketika predikatnya adjektiva. Adjektiva tidak menghendaki kehadiran kopula.

*Dia adalah cantik

Dia (0) cantik.

 

Ketika dihadirkan “adalah” (Dia adalah cantik), kalimat justru tidak gramatikal dan bagi kita penutur asli terdengar aneh juga tidak lazim digunakan.

 

Sebenarnya ada beberapa perbedaan yang bisa mendasari kita untuk tidak menyamakanto be dengan “adalah”. Poin pertama yang harus diperhatikan, bahasa Indonesia tidak terikat infleksi kala sehingga tidak mewajibkan predikatnya berunsur verba sebagai tempat melekatnya verba. Predikatnya bisa berupa adjektiva tanpa harus ada unsur lain yang membantu kehadirannya (beda dengan bahasa Inggris). Apalagi setelah diamati sebelumnya bahwa predikat adjektiva justru tidak bisa didahului “adalah”.

Poin kedua, “status” kopula bahasa Indonesia berbeda dengan kopula bahasa Inggris. Menurut beberapa pakar, kopula dalam bahasa Indonesia adalah “kata pemisah” karena secara tegas memisahkan subjek dan predikat (icuk = subjek, seorang dosen = predikat). Ada pakar lain (Verhaar) menyatakan bahwa kopula adalah pengantar predikat karena posisinya terletak sebelum predikat namun bukan termasuk predikat (“hanya” pengantar). Karena hanya pengantar, maka “adalah” bukan bagian dari predikat. Kopula dalam bahasa Indonesia juga tidak bisa dikategorikan sebagai verba. (salah satu poin lagi yang harus digarisbawahi). “adalah” tidak bisa disebut verba karena tidak dapat dinegasikan. Berikut contohnya.

 

*Icuk bukan adalah seorang dosen. ( “adalah” bukan verba karena tidak bisa dinegasikan)

*icuk adalah bukan seorang dosen.

Icuk bukan seorang dosen.

Icuk tidak makan nasi goreng. (makan adalah verba karena bisa dinegasikan)

 

Adapun kopula dalam bahasa Inggris adalah satuan lingual fungsional yang dihadirkan untuk membentuk predikat (termasuk ke dalam predikat). Selain itu, to be juga verba dan dapat dinegasikan.

She is not smart.

 

Kemudian kembali menilik judul tulisan ini, barangkali bagi beberapa di antara Anda sudah cukup jelas mengetahui jawaban dari “mengapa” yang saya tuliskan di judul. Intinya, beberapa bahasa di dunia ini memiliki kesemestaan atau universalitas (dalam kasus ini adalah keberadaan kopula). Akan tetapi, masing-masing bahasa mempunyai “ketentuan” yang bersifat language-specific, misalnya perihal perilaku kopula dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang berbeda. Oleh sebab itu, kita harus lebih bijak jika ingin menerjemahkan satuan lingual tersebut. Dengan demikian, kita tidak serta merta menerjemahkan to be menjadi “adalah” dalam bahasa Indonesia.

 

Sebagai penutup, saya coba sedikit berbagi tentang hakikat keberadaan kopula dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya keberadaan kopula sendiri masih menjadi perdebatan. Saya pernah membaca di salah satu buku (kalau tidak salah Verhaar) yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa rumpun Austronesia (termasuk bahasa Indonesia) tidak mempunyai kopula sebagai bagian dari karakteristiknya. Sebut saja bahasa yang masih bersaudara dengan bahasa Indonesia, yakni bahasa Tagalog. Bahasa Tagalog sama sekali tidak mempunyai kopula. Linguis Malaysia menyebutkan bahwa hadirnya kopula dalam bahasa Melayu (khususnya Indonesia) adalah karena pemengaruhan gramatikal bahasa-bahasa Indo-Eropa (seperti bahasa Belanda). Bahasa Indo-Eropa sangat kental dengan kopula. Apakah kopula dalam bahasa Indonesia adalah hasil gramatikalisasi dan pemengaruhan bahasa-bahasa Indo-Eropa? Tentu dibutuhkan penelitian lebih mendalam lagi secara diakronis menyangkut persoalan ini. Jadi, setidaknya masih ada kesempatan bagi kita, penutur asli bahasa Indonesia, untuk memberikan kontribusi bagi bangsa melalui bidang kebahasaan.

 

Cukup sekian yang bisa saya bagi. Barangkali ada yang punya pendapat lain, silakan dibagi juga. Saya juga masih belajar, nih.

 

Salam 🙂

Ikmi Nur O.

 

Referensi

Baker, Mark C. 2004. Lexical Categories. Cambridge: Cambridge University Press

den Dikken, Marcel. 2006. Relators and Linkers. Cambridge: MIT Press

Fought, Carmen. 2006. Language and Ethnicity. Cambridge: Cambridge University Press

Payne, Thomas E. 2011. Understanding English Grammar. Cambridge: Cambridge University Press

Sudarti, Florentine. 1980. Beberapa Catatan Mengenai Kata Pemisah dalam Bahasa Indonesia dalam Majalah Pengajaran Bahasa dan Sastra VI/4/1980 hlm. 6-14

Verhar. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

6 Tanggapan to “Mengapa Bahasa Inggris Memerlukan “is, am, are” dan Mengapa Bahasa Indonesia Tidak Selalu Memerlukan “adalah”?”

  1. Wahyu Ginting Mei 20, 2012 pada 5:55 pm #

    Ini masih dugaan saya: ‘lah’ punya peran yang lebih kuat dari yang sedang kita duga. Perhatikan bahwa ‘adalah’ itu mungkin (mungkin, lho) sebetulnya sebuah kata majemuk yang dibangun dari ‘ada’ dan ‘lah’. Selain ‘adalah’, kita juga punya ‘ialah’ (yang sudah jarang sekali dipakai). ‘adalah’ dan ‘ialah’ merupakan bentuk positif sementara ‘bukanlah’ dan ‘tidaklah’ merupakan bentuk negatifnya.

    Contoh:
    – Icuk bukanlah seorang pegawai bank.
    – Wajah cemberut tidaklah elok.

    walau bisa juga:

    – Icuk bukan seorang pegawai bank.
    – Wajah cemberut tidak elok (dipandang). –> perhatikan bahwa kalimat ini jadi tidak sedap terdengarnya kalau hanya berhenti sampai ‘elok’ saja.

    Dengan kalau seperti ini, kok saya jadi berpikir masalah kopula dalam bahasa Indonesia seharusnya dibahas dengan melibatkan banyak ikhwal lain selain ‘adalah’, ya? Bagaimana dengan ‘merupakan’? Atau, kata ‘itu’ yang dapat berperan seperti kopula dalam ungkapan lisan, contohnya “Icuk itu dosen”.

    Bagaimana menurut Anda?

    Salam. 🙂

  2. Wahyu Ginting Mei 20, 2012 pada 5:59 pm #

    Ralat: “Dengan kalau seperti ini,…” maksudnya “Kalau seperti ini,…”. 😉

    • Ikmi Nur Oktavianti Mei 21, 2012 pada 6:09 am #

      Memang benar bahwa adalah dan ialah negasinya bukanlah dan tidaklah, dan kesemuanya bentukan kata ada, ia, bukan, dan tidak yang memakai -lah. Tapi yang harus kita ketahui bahwa -lah tetaplah berjenis partikel penegas. Pemajemukan memungkinkan adalah dan ialah diakui sebagai satu kata. Adapun partikel -lah ini bersifat opsional, posposisi, dan umumnya berfungsi sebagai penegas. Adapun merupakan dibentuk dari meN- + rupa + -kan, tentu saja ini juga kata bentukan. Oleh karena evidensi-evidensi semacam ini, para peneliti bahasa Melayu sepakat bahwa ternyata kopula bersifat opsional dalam bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan bukti-bukti ilmiah dari bahasa-bahasa berinduk Austronesia lain bahwa proto Austronesia tidak mengenal kopula sehingga kehadiran kopula di semua bahasa Austronesia bersifat opsional dan kemungkinan disebabkan interferensi bahasa asing. Dalam bahasa Indonesia kehadiran kopula juga bisa digantikan dengan jeda sebentar (dalam tulisan bisa ditulis dengan tanda koma secara opsional), misalnya dalam “Yang mencuri mentimun, kancil”.
      Tentang “itu” sebagai kopula kemungkinan karena interferensi bahasa Jawa atau bahasa yang setipe dengan bahasa Jawa karena “itu” dalam Icuk itu bodoh (Indonesia) / Icuk kuwi bodo (Jawa) sehingga “itu” terlihat seperti penegas sehingga menurut saya tetap bukan kopula, dan dalam konteks lain bisa juga sekaligus sebagai pendefinit.
      Adapun ikhwal “itu” yang lengkap dapat Anda baca di dalam “Deiksis dalam Bahasa Indonesia”, disertasi Bambang Kaswanti Purwo, terbitan ILDEP 1984. Atau yang lebih menarik, artikel Soenjono Dardjowidjojo berjudul “Penggolong, Itu, dan -nya: Cara Berpikir Bangsa Indonesia” dalam bukunya “Beberapa Aspek Linguistik Indonesia” terbitan ILDEP 1983, bilingual.
      Salam 🙂

  3. Ghofur Dzulhikam Maret 5, 2013 pada 6:11 am #

    mantapppp…
    capek bacanya, saya..

    (kalimatku sudah benar belum ya?)

  4. Windi Christinasari Oktober 1, 2014 pada 12:45 am #

    Terima kasih atas tulisannya. Sangat menarik.

Tinggalkan Balasan ke Ikmi Nur Oktavianti Batalkan balasan